"Adikku Si Bisu, aku merasa sudah dekat menemui ajal.”
“Jangan berkata begitu, Kakang!” sahut istrinya.
“Benar. Rasanya Nur Muhammad tiada tampak lagi di mataku. Kedudukan Rasul yang ada di bibirku pun sudah hilang tak berbekas. Aku yakin dalam waktu yang tidak lama, diriku akan dipundut oleh Sang Hyang Manon. Aku merasa masuknya Hyang pramana sudah mulai berkurang. Terasa sesak mendesak rasa ciptaku. Wahai adikku Si Bisu, antarkan aku ke jalan hidup!” pintanya dengan suara lirih.
Si Bisu terdiam. Ia memandangi Ki Ageng Rolly lekat-lekat. Ia kemudian mendekap dan menempelkan bibirnya ke telinga Ki Ageng Rolly. Tampaknya Si Bisu alias Ki Ageng Adin berusaha menahan tangis.
“Kakang Rolly, kuberitahukan kepadamu, apa sesungguhnya kematian itu. Tanda-tanda kematian yang Kakang ketahui itu palsu. Semuanya bohong. Tidak dapat dipercaya. Keberadaan Rasul di bibir juga tidak benar. Orang-orangan yang ada di mata yang dianggap sebagai Nur Muhammad juga tidak benar. Berkurang masuknya napas itu pun belum meyakinkan. Bagiku, yang menjadi pertanda kematian secara pasti dan tidak diragukan ialah uni nong anung unang. Coba, lihatlah aku!” katanya sambil melepas pelukannya. Continue Reading